Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Sabtu, 15 Januari 2011

NEO-NINGRAT

Di zaman yang modern ini, gelar kebangsawanan seperti Raden/Rara sudah bukan menjadi julukan sakral di mana rakyak jelata harus membungkuk – kalau perlu ngesot – ketika ingin menemui mereka. Walaupun sebenarnya gelar ini masih banyak yang memiliki, namun sudah sangat jarang yang memakainya, mungkin karena sekarang gelar kebangsawanan sudah tidak popular lagi. Kebanyakan mereka menggunakan nama mereka tanpa diberi gelar raden/rara di depannya, hanya sebagian kecil saja yang masih memakainya. Kehidupan mereka yang dahulu sangat eksklusif pun sekarang sudah mulai luntur. Banyak dari mereka yang bekerja di ruang-ruang publik dan sudah sangat terbiasa berinteraksi dengan rakyat kebanyakan. Ya, zaman memang sudah berubah, sekarang gelar bangsawan bukanlah gelar yang bisa menjamin kekuasaan dan kekayaan seperti zaman dahulu. Kalaupun itu masih berguna, penggunaan gelar kebangsawanan ini mungkin hanya akan berguna bagi segelintir orang saja, seperti di di Keraton Yogyakarta. Ya, darah biru sudah berubah warnanya menjadi merah.
Tetapi, dengan mulai lunturnya pengaruh bangsawan dalam kehidupan sehari-hari bukan berarti kehidupan eksklusif ala bangsawan ikut hilang. Sekarang darah putih telah berubah menjadi darah biru. Kehidupan eksklusif bangsawan di balik tembok keraton sekarang sudah menemukan tempat baru, di dalam dinding-dinding megah pesantren. tidak sedikit – kalau tidak boleh dikatakan banyak – keluarga pesantren yang hidup seperti di keraton. Santri-santri yang datang dengan niatan untuk menuntut ilmu, banyak sekali yang diperlakukan seperti pembantu. Ada yang bertugas memasak, mencuci, membersihkan halaman, membersihkan rumah, ada yang jadi Khadam (istilah untuk memperhalus kata “babu”) yang harus siap selalu untuk di perintah Gus/Ning mereka (Panggilan khas anak-anak Kyai). Dan sayang sekali, hal seperti itu ternyata sudah mendapat legitimasi oleh banyak kyai dengan setumpuk kitab sebagai rujukan. Membantu untuk meringankan beban guru dan keluarganya memang wajib dilakukan oleh para santri yang sedang mencari ilmu dan ngalap berkah. Tetapi itu bukan menjadi alasan keluarga pesantren untuk memerintah para santrinya seenaknya sendiri, tak terkecuali sang Kyai sebagai gurunya.
Lebih lanjut, keeksklusifan kehidupan sebagian Gus dan Ning bisa dengan mudah kita saksikan di jejaring sosial seperti facebook. walaupun mereka mau menerima permintaan pertemanan banyak orang, tetapi di situ sangat terasa kesan keeksklusifannya. Mereka akan sangat mudah diajak berkenalan dan bercanda asal kita menyebutkan anak Kyai mana, dan pondok mana. Jika tidak, maka anda harus berjuang keras untuk bisa masuk ke komunitas mereka.
Tulisan ini tidak bermaksud menjustifikasi secara merata seluruh kehidupan di pondok pesantren. karena masih sangat banyak pesantren dan keluarga pesantren yang mempunyai konsep pendidikan yang baik bagi santri-santrinya, dan hidup dengan penuh kesederhanaan tanpa mengandalkan bantuan dari santri-santrinya. Yang penulis tuliskan di sini hanya mereka-mereka kaum “terhormat” yang telah buta oleh kehormatan saja. penulis pun adalah orang yang sangat ta’dzim dengan pesantren dan menggantungkan berjuta harapan kepadanya. Tulisan ini pun muncul dari analisis penulis pribadi yang mungkin bersifat subjektif. Jadi, jika ternyata tulisan ini ternyata salah mohon diklarifikasi. Penulis tunggu tanggapannya.