Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Senin, 28 Februari 2011

AHMADIYAH: MEMBENARKAN ATAU MENYALAHKAN?

Sekarang ini bangsa kita kembali dihebohkan dengan sikap penolakan umat Islam terhadap keberadaan jamaah ahmadiyah di Indonesia yang berujung kepada tindakan kekerasan. Tentunya kita memahami betul bahwa tindakan kekerasan seperti itu bukanlah tindakan yang bijak dan sama sekali tidak mencerminkan perilaku islami. Penolakan mayoritas umat Islam terhadap keberadaan jamaah ahmadiyah ini dilatarbelakangi oleh perbedaan penafsiran mayoritas umat Islam dengan jamaah ahmadiyah tentang masalah kenabian. Lalu bagaimana sikap yang harus kita ambil sebagai umat Islam? Tulisan ini tidak akan mengajak pembaca untuk memihak kepada salah satu pihak, tulisan ini hanya akan menyuguhkan kepada pembaca alternatif cara berfikir untuk menyikapi persoalan-persoalan yang berkaitan dengan masalah perbedaan khususnya masalah ahmadiyah. Hal ini penting karena issue yang diangkat dalam kasus ahmadiyah ini adalah tentang masalah aqidah, sesuatu yang menjadi fondasi keagamaan kita sebagai umat Islam.
Terkait persoalan ahmadiyah ini, umat Islam terpecah menjadi tiga kelompok besar, yaitu kelompok yang mengatakan ajaran ahmadiyah “salah”, kemudian kelompok orang yang mengatakan ajaran ahmadiyah “benar”, dan yang terakhir yang berkata “jangan merasa paling benar” (kelompok yang tidak mengatakan salah dan juga benar kepada keduanya dengan argumentasi bahwa itu juga adalah masalah penafsiran manusia yang mempunyai kebenaran relatif, pernyataan itu juga sebenarnya oleh mereka lebih ditujukan kepada mereka yang menganggap salah ajaran ahmadiyah). Dari ketiga kelompok itu, yang sangat menarik untuk dikaji adalah kelompok terakhir yang berkata “jangan merasa paling benar” di tengah perdebatan sengit antara mayoritas umat Islam dan ahmadiyah, walaupun pernyataan ketiga ini terkesan netral dan bijaksana tetapi bagi saya pernyataan ini sama sekali tidak menunjukan sebuah kebijaksanaan atau bahkan sikap netral sama sekali. Dan sebelum kita bicara lebih jauh, pertama-tama saya akan berbicara tentang dasar logika yang saya pakai, sehingga pembaca bisa lebih utuh dalam memahami tulisan saya ini.
Sesuatu dikatakan benar karena ada sesuatu yang salah, dan sesuatu dikatakan salah karena ada sesuatu yang benar. Ini adalah logika sederhana yang harus kita pahami terlebih dahulu sebelum kita berbicara lebih jauh tentang benar dan salah. Jika ada sebuah pertentangan, dalam hal ini adalah “benar” dan “salah”, maka kemungkinan yang ada adalah “benar salah satu”, “benar keduanya”, dan “tidak ada yang benar”. Jadi tidak ada kemungkinan yang menempati posisi di antara keduanya. dan seseorang akan mengambil sebagai sebuah keyakinan satu dari tiga kemungkinan itu – terlepas dari benar tidaknya keyakinan yang diambilnya. Orang yang tidak mengambil sama sekali satu dari tiga kemungkinan adalah orang yang masih ragu untuk memutuskan akan mengambil posisi di mana dalam menghadapi sebuah persoalan yang bertentangan. Dan orang yang telah memilih satu dari tiga kemungkinan itu berarti telah membuat pernyataan tidak langsung bahwa kemungkinan yang lain itu “salah”. Sebagai contoh, jika ada sebuah kasus pembunuhan, maka kita akan dihadapkan terhadap pilihan sikap untuk menanggapi kasus tersebut, yaitu berkata “membunuh itu salah, yang benar adalah tidak membunuh”, “membunuh itu benar, yang salah adalah tidak membunuh”, “membunuh dan tidak membunuh itu adalah salah”, atau “membunuh dan tidak membunuh adalah benar”. Dari empat pernyataan itu, maka kita harus mengambil satu sikap dan dengan kata lain akan mengatakan “salah” terhadap pernyataan yang lain.
Sekarang kita bicara tentang kelompok ketiga yang berkata “jangan merasa paling benar”. Mereka beranggapan bahwa kebenaran penafsiran manusia itu bersifat relatif, kebenaran absolout adalah milik Allah. Jadi tidak pantas kita merasa paling benar. Tetapi sayang sekali, dengan berkata seperti itu sebenarnya mereka sendiri telah terjebak pada “merasa benar sendiri”. Untuk membuktikannya saya gambarkan dengan sebuah skema agar lebih mudah untuk dipahami.

Merasa  Sebuah keyakinan
# Merasa benar = meyakini bahwa sesuatu itu benar
# Merasa salah = meyakini bahwa sesuatu itu salah
# menganggap tidak benar jika merasa dirinya paling benar/paling salah = keyakinan bahwa berfikir paling benar/paling salah adalah salah

Dalam konteks ahmadiyah:
# Mayoritas umat Islam mengatakan ajaran ahmadiyah salah = meyakini bahwa ajaran ahmadiyah salah
# Warga Ahmadiyah mengatakan ajaran ahmadiyah benar = meyakini bahwa ajaran ahmadiyah benar
(keduannya bisa disimpulkan adalah orang-orang yang oleh kelompok ketiga disebut orang yang “merasa paling benar”)
# sebagian umat Islam mengatakan “jangan merasa paling benar” = meyakini bahwa merasa diri paling benar adalah salah
Kesimpulan:
 Kelompok ketiga meyakini bahwa tidak merasa paling benar adalah keyakinan yang benar, dan merasa paling benar adalah keyakinan yang salah
 Kelompok ketiga merasa keyakinan mereka paling BENAR dan keyakinan yang “merasa paling benar” adalah SALAH
 Kelompok ketiga merasa paling benar dengan mengatakan jangan merasa paling benar

Penyataan kelompok ketiga juga menunjukan ketidakjelasan keyakinan yang dianut oleh mereka. Mereka tidak jelas mengambil sikap apakah mereka menganut keyakinan yang dianut mayoritas umat Islam, atau menganut keyakinan yang diyakini ahmadiyah, atau bahkan tidak menganut kedua-duanya. Padahal keyakinan yang sedang diperdebatkan adalah masalah aqidah yang menjadi fondasi keagamaan umat Islam.
Apapun sikap yang kita ambil sebagai sebuah “kebenaran” maka kita harus siap untuk berkata kepada yang lain bahwa itu adalah sebuah “kesalahan”. Kita tidak akan bisa terhindar dari menyalahkan sesuatu ketika membenarkan sesuatu, begitu juga sebaliknya. Tetapi harus diingat, meyakini sebuah kebenaran mempunyai beberapa batasan yang harus benar-benar perhatikan, yaitu:
1. Kebenaran manusia – termasuk hasil penafsiran terhadap sesuatu – itu bersifat relatif, sangat mungkin kebenaran yang sudah diyakini bisa tergantikan oleh kebenaran lain, sehingga ruang dialektika harus dibuka selebar mungkin. Hal ini juga akan menghindarkan kita kepada taqlid buta yang sama sekali tidak dibenarkan oleh Islam. Menggunakan cara-cara dialogis dalam menghadapi persoalan bisa menambah keyakinan kita terhadap apa yang kita anggap benar dengan rasional, dan juga bisa menjadi cermin apakah apa yang kita yakini selama ini adalah sesuatu yang benar.
2. Meyakini terhadap sebuah kebenaran haruslah didasarkan kepada dalil-dalil dan rasionalitas yang bisa dipertanggungjawabkan. Bukan didasarkan kepada taqlid buta.
3. Mempertahankan apa yang kita yakini adalah sesuatu yang wajar, tetapi dengan menggunakan cara-cara yang dibenarkan seperti melalui pintu diskusi atau yang lainnya, bukan melalui cara-cara kekerasan yang bersifat desdruktif. Reaksi desdruktif yang dipertontonkan kepada kita belakangan ini mengingatkan saya tentang awal kemunculan agama Islam di mana Nabi Muhammad Saw. dan umatnya mendapat perlakuan keras bahkan penyiksaan dan pembunuhan dari kaum kafir Quraisy. Terlepas dari benar tidaknya ajaran ahmadiyah, tetapi jika kita terus bersikap anarkis seperti ini terus maka apa bedanya kita dengan kaum kafir Quraisy ketika bereaksi terhadap ajaran Nabi Muhammad Saw. yang mereka anggap salah?
Konflik ahmadiyah ini kemudian saya petakan menjadi tiga kemungkinan, yaitu:
1. Ajaran Ahmadiyah benar dan mayoritas umat Islam salah
2. Ajaran Ahmadiyah salah dan mayoritas umat Islam benar
3. Ajaran kedua-duanya salah
Tidak ada kemungkinan keempat yaitu “ajaran kedua-duanya benar”. Antara mayoritas umat Islam dan Ahmadiyah mempunyai keyakinan yang saling bertentangan dan itu tidak bisa menjadi sebuah kebenaran secara bersamaan. Ketiga kemungkinan inilah yang harus kita yakini salah satu dan dengan itu maka kita harus mengatakan “salah” kepada yang lainnya. Mengatakan “salah” juga bukan berarti menghalalkan tindakan kekerasan. Dengan meyakini salah satu kita telah mengambil sikap yang jelas dalam menanggapi permasalahan Ahmadiyah. Dan saya tekankan sekali lagi, dengan meyakini salah alah satu dari ketiga kemungkinan di atas bukan berarti saya mengamini ditutupnya ruang diskusi dan menghalalkan tindakan kekerasan. Justru dengan meyakini salah satu kemungkinan itu akan menjadi modal dasar kita untuk berdiskusi lebih jauh.
Dan terkait masalah ajaran Ahmadiyah saya kembalikan kepada pembaca untuk memutuskan benar atau tidak ajaran yang dibawanya. Dan membuka ruang diskusi dengan mereka akan lebih bijak dari pada langsung menunjukan penolakan tanpa mau tahu argumentasi mereka.
Walllahu a’lam.

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan Bagi Sahabat-sahabat Yang Ingin Sedikit menuangkan pernyataan dan pertanyaan...! :)