Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Kamis, 27 Oktober 2011

Kesah Seorang Hina

Oleh: Orang yang Terhina

Apa yang bisa dilakukan seorang hamba
Jika Tuhan telah meninggalkannya
Apa yang bisa dilakukan seorang manusia
Jika dunia sudah tak menerimanya

Apa yang bisa dilakukan seorang putra
Jika orang tuanya sudah tak membimbingnya
Apa yang bisa dilakukan oleh seorang siswa
Jika sang guru terus menghukumnya

Tidakkah kalian mengerti
Kalau aku telah mati
Kenapa kalian biarkan aku terbujur kaku
Tidakkah kalian mampu untuk mengubur jasadku

Ketika hidup aku kalian hinakan
Kenapa setelah matipun aku kalian biarkan
Buatkanlah liang lahat untukku
Agar aku bisa beristirahat dan menutup mataku



Sokaraja, 27 Oktober 2011

Selasa, 20 September 2011

Putu The Trouble Maker (Salak)

Suatu hari Putu sedang berkumpul dengan kawan-kawannya di pinggir sungai. sambil menikmati aliran sungai mereka memakan buah salak yang mereka ambil dari kebun pesantren. ramai-ramai mereka memakan buah salak yang cukup banyak itu. ketika Putu baru menghabiskan satu buah salak dia melihat si Umi, santri putri pujaan hatinya lewat. diapun memandangi Umi hingga bayangan Umipun menghilang. Ketika Umi sudah berlalu dari hadapannya, Putu menengok lagi ke arah buah salak kesukaannya. Alangkah terkejutnya ketika Putu melihat semua buah salak hanya tersisa kulit dan bijinya saja yang berserakan di depan dia. Iwan yang duduk di sebelahnya meledek "wah Hebat benar kau, semua salak kau habiskan, hanya tersisa kulit dan bijinya saja". Sontak kawan-kawan Putupun tertawa terbahak-bahak. Tapi bukan putu kalau dia kehabisan akal. Putupun balik bertanya kepada kawan-kawanya, "wah, tapi aku kalah hebat dibanding kalian, bahkan kulit dan bijinya pun tak kalian sisakan".

Hasrat Cinta

Awal kau cukup puas untuk sekedar melihatnya...
Lalu kau mulai ingin mendengar suaranya...
Kaupun mulai bicara dengannya...
Semakin lama kau ingin memegang tanganya... Menciumnya... Memilikinya...
Kasih sayang, cinta, dan nafsu menyelimutimu...
Hasrat untuk memilikinya seutuhnya sudah tak terbendung, dan kau akan gila karenanya...

Awal kau bicara "cukup aku melihatnya", kemudian kau bicara "cukup aku berteman dengannya", kemudian kau berucap lagi "cukup dia menjadi sahabatku", dan akhirnya kaupun berteriak "dia harus menjadi milikku"...

Putu The Trouble Maker

(suatu hari Putu menyembunyikan sandal milik Kyainya)
Abah Kyai: Cung sandal abah di mana?
Putu: Diambil Umi Bah anak santri putri.
Abah Kyai: tolong ambilin cung.
(putu pun pergi menghampiri Umi)
Putu: Umi aku disuruh abah nyium kamu.
Umi: ga mau!!!
(putu teriak) "ga boleh bah"
Abah kyai: kasih nduk.
(putu pun mencium pipi kanan Umi)
Putu: yang kiri mana?
Umi: ga mau!!!
Putu: bah yang kiri ga boleh.
Abah Kyai: kasih semua nduk.
Putu: "Alhamdulillah"

Senin, 28 Februari 2011

AHMADIYAH: MEMBENARKAN ATAU MENYALAHKAN?

Sekarang ini bangsa kita kembali dihebohkan dengan sikap penolakan umat Islam terhadap keberadaan jamaah ahmadiyah di Indonesia yang berujung kepada tindakan kekerasan. Tentunya kita memahami betul bahwa tindakan kekerasan seperti itu bukanlah tindakan yang bijak dan sama sekali tidak mencerminkan perilaku islami. Penolakan mayoritas umat Islam terhadap keberadaan jamaah ahmadiyah ini dilatarbelakangi oleh perbedaan penafsiran mayoritas umat Islam dengan jamaah ahmadiyah tentang masalah kenabian. Lalu bagaimana sikap yang harus kita ambil sebagai umat Islam? Tulisan ini tidak akan mengajak pembaca untuk memihak kepada salah satu pihak, tulisan ini hanya akan menyuguhkan kepada pembaca alternatif cara berfikir untuk menyikapi persoalan-persoalan yang berkaitan dengan masalah perbedaan khususnya masalah ahmadiyah. Hal ini penting karena issue yang diangkat dalam kasus ahmadiyah ini adalah tentang masalah aqidah, sesuatu yang menjadi fondasi keagamaan kita sebagai umat Islam.
Terkait persoalan ahmadiyah ini, umat Islam terpecah menjadi tiga kelompok besar, yaitu kelompok yang mengatakan ajaran ahmadiyah “salah”, kemudian kelompok orang yang mengatakan ajaran ahmadiyah “benar”, dan yang terakhir yang berkata “jangan merasa paling benar” (kelompok yang tidak mengatakan salah dan juga benar kepada keduanya dengan argumentasi bahwa itu juga adalah masalah penafsiran manusia yang mempunyai kebenaran relatif, pernyataan itu juga sebenarnya oleh mereka lebih ditujukan kepada mereka yang menganggap salah ajaran ahmadiyah). Dari ketiga kelompok itu, yang sangat menarik untuk dikaji adalah kelompok terakhir yang berkata “jangan merasa paling benar” di tengah perdebatan sengit antara mayoritas umat Islam dan ahmadiyah, walaupun pernyataan ketiga ini terkesan netral dan bijaksana tetapi bagi saya pernyataan ini sama sekali tidak menunjukan sebuah kebijaksanaan atau bahkan sikap netral sama sekali. Dan sebelum kita bicara lebih jauh, pertama-tama saya akan berbicara tentang dasar logika yang saya pakai, sehingga pembaca bisa lebih utuh dalam memahami tulisan saya ini.
Sesuatu dikatakan benar karena ada sesuatu yang salah, dan sesuatu dikatakan salah karena ada sesuatu yang benar. Ini adalah logika sederhana yang harus kita pahami terlebih dahulu sebelum kita berbicara lebih jauh tentang benar dan salah. Jika ada sebuah pertentangan, dalam hal ini adalah “benar” dan “salah”, maka kemungkinan yang ada adalah “benar salah satu”, “benar keduanya”, dan “tidak ada yang benar”. Jadi tidak ada kemungkinan yang menempati posisi di antara keduanya. dan seseorang akan mengambil sebagai sebuah keyakinan satu dari tiga kemungkinan itu – terlepas dari benar tidaknya keyakinan yang diambilnya. Orang yang tidak mengambil sama sekali satu dari tiga kemungkinan adalah orang yang masih ragu untuk memutuskan akan mengambil posisi di mana dalam menghadapi sebuah persoalan yang bertentangan. Dan orang yang telah memilih satu dari tiga kemungkinan itu berarti telah membuat pernyataan tidak langsung bahwa kemungkinan yang lain itu “salah”. Sebagai contoh, jika ada sebuah kasus pembunuhan, maka kita akan dihadapkan terhadap pilihan sikap untuk menanggapi kasus tersebut, yaitu berkata “membunuh itu salah, yang benar adalah tidak membunuh”, “membunuh itu benar, yang salah adalah tidak membunuh”, “membunuh dan tidak membunuh itu adalah salah”, atau “membunuh dan tidak membunuh adalah benar”. Dari empat pernyataan itu, maka kita harus mengambil satu sikap dan dengan kata lain akan mengatakan “salah” terhadap pernyataan yang lain.
Sekarang kita bicara tentang kelompok ketiga yang berkata “jangan merasa paling benar”. Mereka beranggapan bahwa kebenaran penafsiran manusia itu bersifat relatif, kebenaran absolout adalah milik Allah. Jadi tidak pantas kita merasa paling benar. Tetapi sayang sekali, dengan berkata seperti itu sebenarnya mereka sendiri telah terjebak pada “merasa benar sendiri”. Untuk membuktikannya saya gambarkan dengan sebuah skema agar lebih mudah untuk dipahami.

Merasa  Sebuah keyakinan
# Merasa benar = meyakini bahwa sesuatu itu benar
# Merasa salah = meyakini bahwa sesuatu itu salah
# menganggap tidak benar jika merasa dirinya paling benar/paling salah = keyakinan bahwa berfikir paling benar/paling salah adalah salah

Dalam konteks ahmadiyah:
# Mayoritas umat Islam mengatakan ajaran ahmadiyah salah = meyakini bahwa ajaran ahmadiyah salah
# Warga Ahmadiyah mengatakan ajaran ahmadiyah benar = meyakini bahwa ajaran ahmadiyah benar
(keduannya bisa disimpulkan adalah orang-orang yang oleh kelompok ketiga disebut orang yang “merasa paling benar”)
# sebagian umat Islam mengatakan “jangan merasa paling benar” = meyakini bahwa merasa diri paling benar adalah salah
Kesimpulan:
 Kelompok ketiga meyakini bahwa tidak merasa paling benar adalah keyakinan yang benar, dan merasa paling benar adalah keyakinan yang salah
 Kelompok ketiga merasa keyakinan mereka paling BENAR dan keyakinan yang “merasa paling benar” adalah SALAH
 Kelompok ketiga merasa paling benar dengan mengatakan jangan merasa paling benar

Penyataan kelompok ketiga juga menunjukan ketidakjelasan keyakinan yang dianut oleh mereka. Mereka tidak jelas mengambil sikap apakah mereka menganut keyakinan yang dianut mayoritas umat Islam, atau menganut keyakinan yang diyakini ahmadiyah, atau bahkan tidak menganut kedua-duanya. Padahal keyakinan yang sedang diperdebatkan adalah masalah aqidah yang menjadi fondasi keagamaan umat Islam.
Apapun sikap yang kita ambil sebagai sebuah “kebenaran” maka kita harus siap untuk berkata kepada yang lain bahwa itu adalah sebuah “kesalahan”. Kita tidak akan bisa terhindar dari menyalahkan sesuatu ketika membenarkan sesuatu, begitu juga sebaliknya. Tetapi harus diingat, meyakini sebuah kebenaran mempunyai beberapa batasan yang harus benar-benar perhatikan, yaitu:
1. Kebenaran manusia – termasuk hasil penafsiran terhadap sesuatu – itu bersifat relatif, sangat mungkin kebenaran yang sudah diyakini bisa tergantikan oleh kebenaran lain, sehingga ruang dialektika harus dibuka selebar mungkin. Hal ini juga akan menghindarkan kita kepada taqlid buta yang sama sekali tidak dibenarkan oleh Islam. Menggunakan cara-cara dialogis dalam menghadapi persoalan bisa menambah keyakinan kita terhadap apa yang kita anggap benar dengan rasional, dan juga bisa menjadi cermin apakah apa yang kita yakini selama ini adalah sesuatu yang benar.
2. Meyakini terhadap sebuah kebenaran haruslah didasarkan kepada dalil-dalil dan rasionalitas yang bisa dipertanggungjawabkan. Bukan didasarkan kepada taqlid buta.
3. Mempertahankan apa yang kita yakini adalah sesuatu yang wajar, tetapi dengan menggunakan cara-cara yang dibenarkan seperti melalui pintu diskusi atau yang lainnya, bukan melalui cara-cara kekerasan yang bersifat desdruktif. Reaksi desdruktif yang dipertontonkan kepada kita belakangan ini mengingatkan saya tentang awal kemunculan agama Islam di mana Nabi Muhammad Saw. dan umatnya mendapat perlakuan keras bahkan penyiksaan dan pembunuhan dari kaum kafir Quraisy. Terlepas dari benar tidaknya ajaran ahmadiyah, tetapi jika kita terus bersikap anarkis seperti ini terus maka apa bedanya kita dengan kaum kafir Quraisy ketika bereaksi terhadap ajaran Nabi Muhammad Saw. yang mereka anggap salah?
Konflik ahmadiyah ini kemudian saya petakan menjadi tiga kemungkinan, yaitu:
1. Ajaran Ahmadiyah benar dan mayoritas umat Islam salah
2. Ajaran Ahmadiyah salah dan mayoritas umat Islam benar
3. Ajaran kedua-duanya salah
Tidak ada kemungkinan keempat yaitu “ajaran kedua-duanya benar”. Antara mayoritas umat Islam dan Ahmadiyah mempunyai keyakinan yang saling bertentangan dan itu tidak bisa menjadi sebuah kebenaran secara bersamaan. Ketiga kemungkinan inilah yang harus kita yakini salah satu dan dengan itu maka kita harus mengatakan “salah” kepada yang lainnya. Mengatakan “salah” juga bukan berarti menghalalkan tindakan kekerasan. Dengan meyakini salah satu kita telah mengambil sikap yang jelas dalam menanggapi permasalahan Ahmadiyah. Dan saya tekankan sekali lagi, dengan meyakini salah alah satu dari ketiga kemungkinan di atas bukan berarti saya mengamini ditutupnya ruang diskusi dan menghalalkan tindakan kekerasan. Justru dengan meyakini salah satu kemungkinan itu akan menjadi modal dasar kita untuk berdiskusi lebih jauh.
Dan terkait masalah ajaran Ahmadiyah saya kembalikan kepada pembaca untuk memutuskan benar atau tidak ajaran yang dibawanya. Dan membuka ruang diskusi dengan mereka akan lebih bijak dari pada langsung menunjukan penolakan tanpa mau tahu argumentasi mereka.
Walllahu a’lam.

Sabtu, 15 Januari 2011

NEO-NINGRAT

Di zaman yang modern ini, gelar kebangsawanan seperti Raden/Rara sudah bukan menjadi julukan sakral di mana rakyak jelata harus membungkuk – kalau perlu ngesot – ketika ingin menemui mereka. Walaupun sebenarnya gelar ini masih banyak yang memiliki, namun sudah sangat jarang yang memakainya, mungkin karena sekarang gelar kebangsawanan sudah tidak popular lagi. Kebanyakan mereka menggunakan nama mereka tanpa diberi gelar raden/rara di depannya, hanya sebagian kecil saja yang masih memakainya. Kehidupan mereka yang dahulu sangat eksklusif pun sekarang sudah mulai luntur. Banyak dari mereka yang bekerja di ruang-ruang publik dan sudah sangat terbiasa berinteraksi dengan rakyat kebanyakan. Ya, zaman memang sudah berubah, sekarang gelar bangsawan bukanlah gelar yang bisa menjamin kekuasaan dan kekayaan seperti zaman dahulu. Kalaupun itu masih berguna, penggunaan gelar kebangsawanan ini mungkin hanya akan berguna bagi segelintir orang saja, seperti di di Keraton Yogyakarta. Ya, darah biru sudah berubah warnanya menjadi merah.
Tetapi, dengan mulai lunturnya pengaruh bangsawan dalam kehidupan sehari-hari bukan berarti kehidupan eksklusif ala bangsawan ikut hilang. Sekarang darah putih telah berubah menjadi darah biru. Kehidupan eksklusif bangsawan di balik tembok keraton sekarang sudah menemukan tempat baru, di dalam dinding-dinding megah pesantren. tidak sedikit – kalau tidak boleh dikatakan banyak – keluarga pesantren yang hidup seperti di keraton. Santri-santri yang datang dengan niatan untuk menuntut ilmu, banyak sekali yang diperlakukan seperti pembantu. Ada yang bertugas memasak, mencuci, membersihkan halaman, membersihkan rumah, ada yang jadi Khadam (istilah untuk memperhalus kata “babu”) yang harus siap selalu untuk di perintah Gus/Ning mereka (Panggilan khas anak-anak Kyai). Dan sayang sekali, hal seperti itu ternyata sudah mendapat legitimasi oleh banyak kyai dengan setumpuk kitab sebagai rujukan. Membantu untuk meringankan beban guru dan keluarganya memang wajib dilakukan oleh para santri yang sedang mencari ilmu dan ngalap berkah. Tetapi itu bukan menjadi alasan keluarga pesantren untuk memerintah para santrinya seenaknya sendiri, tak terkecuali sang Kyai sebagai gurunya.
Lebih lanjut, keeksklusifan kehidupan sebagian Gus dan Ning bisa dengan mudah kita saksikan di jejaring sosial seperti facebook. walaupun mereka mau menerima permintaan pertemanan banyak orang, tetapi di situ sangat terasa kesan keeksklusifannya. Mereka akan sangat mudah diajak berkenalan dan bercanda asal kita menyebutkan anak Kyai mana, dan pondok mana. Jika tidak, maka anda harus berjuang keras untuk bisa masuk ke komunitas mereka.
Tulisan ini tidak bermaksud menjustifikasi secara merata seluruh kehidupan di pondok pesantren. karena masih sangat banyak pesantren dan keluarga pesantren yang mempunyai konsep pendidikan yang baik bagi santri-santrinya, dan hidup dengan penuh kesederhanaan tanpa mengandalkan bantuan dari santri-santrinya. Yang penulis tuliskan di sini hanya mereka-mereka kaum “terhormat” yang telah buta oleh kehormatan saja. penulis pun adalah orang yang sangat ta’dzim dengan pesantren dan menggantungkan berjuta harapan kepadanya. Tulisan ini pun muncul dari analisis penulis pribadi yang mungkin bersifat subjektif. Jadi, jika ternyata tulisan ini ternyata salah mohon diklarifikasi. Penulis tunggu tanggapannya.