Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Senin, 20 Juli 2009

PEMILWA STAIN Purwokerto 2009: AJANG PEMBUKTIAN KEDEWASAAN MAHASISWA

Oleh: Syafiq el_Mijeni
(syafiqelmijeni.blogspot.com)

Pemilwa semakin dekat, suhu politik antar elemen mahasiswa mulai menghangat, partai-artai politik mulai menyiapkan para calonnya untuk dilandingkan menjadi ketua BEM-P, BEM-J, DEMA dan SEMA. Pemilwa yang kemungkinan akan dilaksanakan pada bulan juli ini akan diramaikan oleh beberapa partai yang berasal dari organisasi kemahasiswaan yang berbeda-beda yang tentunya membawa berbagai kepentingan yang berbeda-beda. Pemilwa ini tidak hanya sekedar media pembelajaran politik mahasiswa dalam berpolitik, tetapi merupakan ajang pembuktian eksistensi mereka di dataran kampus. Sebuah pembuktian seberapa besar ideologi dan wacana mereka dapat diterima para mahasiswa, khususnya mereka yang belum berorganisasi.

Seperti halnya politik yang terjadi pada Pemilu Legislatif maupun Pemilu Presiden, kondisi Pemilwa yang merupakan miniaturnya tidaklah jauh berbeda. Di sana akan banyak terjadi kompetisi yang cukup panas dan tidak menutup kemungkinan akan menjadi kompetisi yang tidak sehat. Oleh karena itu, mahasiswa harus bersikap dewasa. Jangan sampai Pemilwa yang seharusnya menjadi pembelajaran demokrasi untuk para mahasiswa justru menjadi boomerang yang akan memecah persatuan dan persaudaraan mahasiswa. Jangan sampai Pemilwa yang dijadikan sebuah alat untuk mencari Pemimpin di tingkat intra kampus menjadi sebuah alat untuk mencari kekuasaan hanya karena egoisme pribadi dan golongan yang akhirnya akan merugikan bagi seluruh mahasiswa STAIN Purwokerto.

Sedikitnya partisispasi pada Pemilwa tahun lalu haruslah menjadi pelajaran berharga bagi kita semua. Jangan sampai kita hanya terfokus untuk dapat memenangkan partai masing-masing atau calon yang kita usung. Karena, tingkat partisipasi mahasiswa dalam Pemilwa adalah suatu hal yang vital. Apalah artinya Pemilwa yang hanya diikuti oleh segelintir mahasiswa yang merupakan aktifis organisasi sehingga seolah-olah Pemilwa adalah ajang politik para aktifis saja. Apalah arti Pemilwa jika sampai yang terpilih adalah orang-orang yang tidak punya kempetensi dan loyalitas terhadap almamater, agama dan bangsa.

Kita harus mengawal Pemilwa ini bersama-sama, jangan sampai terjadi kecurangan yang akan membawa kepada perpecahan. Jangan sampai terjadi kampanye hitang dengan cara saling menjatuhkan satu sama lain. Jangan sampai Pemilwa ini hanya sebuah alat untuk mencari kekuasaan, tetapi menjadi sebuah alat pembelajaran. Siapapun yang terpilih nanti wajib kita dukung. Dukungan itu tidak harus berupa masuk dalam struktur kepengurusan, tetapi pengawalan dan partisipasi terhadap kegiatan yang diadakan merupakan salah satu cara yang bisa kita lakukan. Dukungan itu wajib bagi kita agar semua kegiatan tetap ditujukan untuk kepentingan para mahasiswa. Saatnya kita buktikan kedewasaan kita pada Pemilwa tahun ini.

TRAGEDI LEMBAH KEMATIAN

Oleh: Syafiq El Mijeni

Di malam hari yang sunyi, Ketika Akram sedang tertidur pulas di rumahnya terdengar suara orang berteriak “Masjid dibakar”. Akram terjaga dari tidurnya, dia berlari dengan cepat menghampiri sumber suara tadi. Ketika sampai, sudah banyak laki-laki dengan menenteng senjata berkerumun. “Ada apa?” Tanya Akram kepada temanya Umar yang juga merupakan Panglima Perang di desa itu. “Masjid di desa putih di bakar orang-orang utara (orang-orang salib)”, jawab Umar. Kemudian Umar bertanya kepada si pembawa berita “kapan kejadiannya, apa ada korban?”, si pembawa berita menangis dan dengan lirih menjawab “waktu syalat isya, sekitar dua puluh jama’ah syahid”. Umar berjalan ke depan kerumunan dengan muka memerah dan berseru “Dua puluh saudara kita telah dibantai tanpa sebab ketika sedang beribadah, benar-benar telah melampaui batas apa yang dilakukan orang-orang salib itu. Saatnya kita mengangkat senjata, allah telah memanggil kita, kumpulkan perbekalan, pagi-pagi sekali kita berangkat. Allahu Akbar… Allahu Akbar… Allahu Akbar…”

Suara takbir bergema seketika, tanpa komando mereka membubarkan diri dan kembali ke rumah masing-masing untuk menyiapkan diri. Pagi-pagi buta, selesai shalat subuh, orang-orang sudah berkumpul di depan masjid. Sekitar tiga ratus laki-laki dengan ikat kepala putih melilit di kepala telah berkumpul dengan muka memerah penuh emosi, tatapan mereka seperti tatapan singa yang ingin mencabik-cabik mangsanya. Akram hanya memandangi mereka dan dalam hatinya bertanya “Apakah ini benar-benar perang suci atau hanya rekayasa untuk memecah belah kita”. Umar menepuk pundak Akram dari belakang dan bertanya kepadanya “Engkau tidak ikut?”. “Apakah ini benar-benar perang suci? Apakah kita akan saling membunuh? Bukankah kita semua bersaudara?” Akram balik bertanya. Kemudia Umar menunjuk ke dada Akram dan berkata “Jawaban itu ada di dalam hatimu”.

Umar dan pasukanya pergi meninggalkan desa untuk bergabung dengan pasukan lain di desa putih. Dari atas kuda Umar berkata kepada Akram “Dulu kamu adalah panglima perang yang hebat… Jika berubah pikiran aku dan pasukanku menunggu kamu di desa putih”. “Semoga Allah Bersamamu”, jawab Arkam sambil tersenyum. Arkam duduk di serambi masjid hingga siang hari, kemudian dia pulang ke rumahnya, ketika dia baru saja masuk ke rumah dan duduk di kursi rumahnya tiba-tiba Ibu Arkam berkata kepadanya dengan lirih tapi sangat dalam hingga hati Arkam pun bergetar, “Sungguh alangkah bahagianya ibu jika ayahmu masih hidup dan menggantikanmu pergi berjihad”. Sontak Arkam berdiri dan berjalan menuju ibunya kemudian dia mencium kaku ibunya, “Semoga Allah menjaga Ibu”, kemudian Arkam mengambil pedang ayahnya yang tergantung ditembok kamarnya dan mempersiapkan bekal untuk segera pergi. Dia memacu kudanya dengan kencang agar dapat bergabung dengan kawan-kawanya yang telah berangkat lebih dulu.

Senja kuning kemerah-merahan memancarkan sinar kemuraman ketika Akram keluar dari batas desa. Akram menghentikan langkah kudanya. Bertanya dalam hati, “pesan apa yang hendak disampaikan langit kepadaku” Akram tertegun penuh tanya, kemudian dia memalingkan wajah ke sisi kanannya, “Subhanallah” kata pertama yang terlontar dari mulutnya ketika melihat hamparan padi hijau tertiup angin seakan-akan sang padi tengah melambai-lambaikan tangannya. Bertanya dalam hati “Apakah aku akan benar-benar akan meninggalkan desaku?”, kemudian Akram turun dari kudaku dan duduk di atas batu besar di pinggir sawah. Hatinya semakin ragu untuk pergi, “aku takut” katanya dalam hati, Akram duduk termenung cukup lama sampai gelapnya malam yang menutup keindahan padi nan hlijau menyadarkannya.

Akram segera mengambil air whudu di sungai kecil yang memisahkan sawah dan jalan. Kemudian dia shalat di atas batu besar yang didudukinya tadi. Kemudian Akram berdzikir hingga wakti Isya tiba dan kemudian ia melaksanakan shalat Isya dan berdzikir kembali, selesai berdzikir dengan mantap dia bergegas menuju kudanya, dia mengambil pedang yang diletakkannya di atas pelana kuda, diacungkan pedangnya ke arah langit seraya berteriak “Ya Allah… Jika ini panggilan-Mu, maka akan kutebas dengan pedangku apapun yang menghalangiku”. Kemudian Akram kembali ke atas batu besar dan duduk di sana sepanjang malam menunggu pagi dengan pedang tetap tergenggam kuat di tangan kanannya. “Laa Ilaaha Illallahu Muhammadur Rasulullah”, hanya itu kata-kata yang keluar dari mulutnya. Ketika subuh tiba segera dia mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat dan berdzikir kembali. Setelah selesai, bergegas dia naik ke atas pelana kudanya dan memacu kudanya dengan cepat.

Di tengah perjalanan, Arkam melihat seorang pasukan dari desa salib yang terkapar di pinggir sungai dengan baju yang berlumuran darah menatap Arkam dengan tatapan yang tajam penuh kebencian. Arkam pun turun dan berniat untuk membunuhnya, dia menghunuskan pedangnya, tetapi ketika dia akan menebaskan pedangnya, si pemuda itu berkata “Kenapa kalian menyerang desa kami? Apa salah kami?”. Seketika Arkam tersentak kaget bukan main. Dia pun menjawab “Bukankah kalian yang menghancurkan masjid kami?”. “Bagaimana mungkin kami menyerang kalian sedangkan tadi malam adalah malam natal dan kami semua berkumpul dengan keluarga kami”. Arkam kemudian membantu pemuda itu duduk dan mengobati luka pemuda itu. “siapa namamu?”, Tanya Arkam, “Samuel”, jawab si pemuda. Arkam menepuk pundak pemuda itu dan berkata “Kamu terlalu muda untuk bertempur”, “bagaimana saya tinggal diam ketika melihat gereja kami dibakar ketika malam natal kami?” sahut Samuel.

Mereka berdua duduk di pinggir sungai dan saling mengintrogasi satu sama lain. Mereka duduk di sana cukup lama, Arkam sangat terkejut setelah mendengar cerita dari Samuel, begitupun Samuel. “Sebenarnya siapa yang menyerang masjid dan gereja?” Tanya Samuel, “pasti ada yang sengaja untuk mengadu domba kita” jawab Arkam. Arkam kemudian bertanya kepada Samuel “Kenapa kamu bisa sampai di sini?”. Samuel menjawa “Di hulu sungai ini sekitar lima ratus pasukan pengintai pimpinan Jendral Gabriel yang bodoh menyergap sekitar tiga ratus pasukan Muslim dan aku terkena sabetan pedang sehingga tercebur ke sungai”. “apakah mereka menggunakan ikat putih di kepala mereka”, Tanya Arkam, “Ya, yang kulihat semuanya tewas, bahkan mungkin pasukan pengintai jendral Gabriel pun tak lebih dari seratus orang yang selamat, itu karena kebodohan mereka sendiri” jawab Samuel. “Kenapa” Tanya Arkam, “Bagaimana mungkin menyergap pasukan berkuda dengan tiba-tiba hanya bermodalkan pedang dan sedikit busur? Walaupun kita menang tetapi jumlah korban kita justru lebih banyak dari mereka” jawab Samuel.

Arkam pun tersenyum dan berkata, “kita telah diadu domba, segeralah pulang dan sampaikan apa yang telah kita bincangkan ini kepada pemimpinmu. Saya akan berusaha untuk menghentikan perang ini semampuku. Ratusan ribu pasukan selatan pimpinan Jendral Ali sudah bergerak menuju utara, jika perang benar-benar pecah maka tragedi kemanusiaan akan terjadi di bumi kita ini.” Pemuda itu bergegas kembali ke pasukannya dan Arkam pun segera memacu kudanya menuju pasukan selatan yang jaraknya tak kurang dari datu hari dari pasukan utara. Ketika sampai lembah kematian, Arkam berhenti memacu kudanya, dia terdiam melihat pemandangan yang begitu mengerikan. Ratusan ribu mayat telah mengubah warna yang hijau itu menjadi merah darah. Darah mengalir ke sungai sehingga mengubah warna sungai itu menjadi merah darah. Arkam memandangi langit dan berkata “Inikah yang ingin engkau sampaikan kepadaku?”. Arkam kemudian berlari menuju perkemahan jendral Ali dan menceritakan apa yang telah dia dengar kepadanya. Ketika Arkam baru saja selesai bercerita seorang prajurit dan dengan nafas terengah-engah, “ada apa?” Tanya jendral Ali, “Orang-orang barat menjarah desa-desa kita dan juga desa–desa orang timur”. Dengan nada lirih jendral Ali berkata “Kita benar-benar telah permainkan oleh orang-orang barat”. Tak lama berselang, jendral Samuel dating ke tenda jendral Ali dengan mata yang berkaca-kaca menahan tangis. “Apa yang harus kita lakukan sekarang? Bahkan pasukan kita pun jika digabung tak akan mampu untuk menghadapi pasukan barat” keluh jendral Samuel. Dengan tersenyum jendral Ali berkata “Kita telah dihancurkan oleh nafsu kita satu kali, jangan sampai itu terulang lagi, kita masih punya Tuhan, tidak usah kita mencari mereka, karena saya yakin mereka yang akan mencari kita untuk membinasakan sisa-sisa kekuatan kita, yang harus kita lakukan adalah bersatu”.

Ternyata apa yang telah perkirakan jendral Ali terbukti, ratusan ribu pasukan barat datang bergelombang seperti ombak yang akan menghancurkan apa yang dilewatinya. Jendral Ali dan jendral Gabriel membuat sebuah persekutuan untuk menghadapi pasukan barat bersama-sama. Dengan keyakinan terhadap pertolongan dari Tuhan dan kemampuan setrategi Arkam, pasukan sekutu ini benar-benar telah siap menghadapi pasukan yang jumlahnya sepuluh kali lebih besar dari mereka. Perang pun pecah, pasukan barat yang telah terlena dengan kekuatan mereka menyerang dengan cepat, tetapi pasukan jendral Ali dan jendral Gabriel dapat bertahan dengan setrategi yang dibuat oleh Arkam. Mayat-mayat pasukan barat terus bergelimpangan. Akhirnya pasukan barat mundur dengan meninggalkan mayat-mayat saudara-saudara mereka yang jumlahnya lebih dari sepertiga jumlah mereka.

Kemenangan pun diraih, para prajurit utara dan selatan bersorak penuh kegembiraan. Di tengah keramaian kegembiraan itu, Arkam naik ke atas kudanya dan berkata “Saudaraku, ingatlah bahwa sekuat apapun kita, jika nafsu yang menguasai kita maka kebinasaanlah yang akan kita dapatkan, lembah kematian ini telah menjadi saksi bahwa nafsu kita telah dihancurkan oleh hawa nafsu kita sendiri”. Arkam pun kemudian pulang ke desanya. Di desa dia berkata dengan air mata yang menetes membasahi mukanya kepada penduduk desa “kita telah dihancurkan oleh nafsu kita, jangan biarkan mereka menghancurkan kita lagi, sudah cukup darah laki-laki terbaik desa ini tumpah. Hiduplah dengan damai bersama saudara-saudaramu. Janganlah kita termakan fitnah yang justru akan menghancurkan kita”.